Dalam beberapa tahun terakhir, kesehatan mental telah menjadi topik yang mendapat perhatian besar. Baik dari remaja yang didiagnosis oleh profesional medis maupun yang mencari informasi sendiri melalui internet, masalah kesehatan mental tidak boleh diabaikan. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Indonesia, sekitar 6,1% dari penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Depresi dan gangguan mental lainnya lebih sering terjadi pada remaja. Selain itu, terjadi peningkatan signifikan hingga 200% dalam kasus gangguan mental dan kematian yang disebabkan oleh gangguan mental pada tahun 2023.
Kesehatan mental itu sendiri merujuk pada kondisi emosi, kejiwaan, dan psikis seseorang. Gangguan kesehatan mental bisa terjadi pada individu yang mengalami pelecehan pada usia dini, stres berat dalam jangka waktu lama tanpa penanganan, atau kekerasan.
Ini merupakan masalah serius bagi bangsa kita karena gangguan kesehatan mental berpengaruh terhadap keadaan negara kita. Dengan demikian, Gen Z yang sering kali dikaitkan dengan kesehatan mental atau yang aktif terlibat dalam isu kesehatan mental dapat berperan dalam menurunkan angka gangguan mental di Indonesia dengan beberapa metode, seperti berikut:
1. Komunitas di Media Sosial
Menurut penelitian yang dilakukan tim dari University of Southern California Marshall School of Business di Los Angeles, menunjukkan bahwa “curhat” bisa mengurangi stres. Namun, curhat tersebut harus dilakukan kepada orang yang memiliki perasaan serupa dalam menghadapi situasi yang sama.
Membuat komunitas untuk menekan angka gangguan kesehatan mental merupakan gerakan yang sangat efektif, terutama karena media sosial telah menjadi “rumah kedua” bagi para remaja. Setiap hari, remaja dipastikan membuka media sosial mereka, sehingga komunitas kesehatan mental di media sosial dapat menarik perhatian besar dari mereka. Komunitas yang dibalut dengan konten menarik dapat menjadi ajang bagi Generasi Z untuk saling membantu sesama atau remaja lain yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Komunitas ini dapat mencakup konten edukatif yang informatif mengenai tanda-tanda gangguan kesehatan mental, cara menghadapinya, dan pentingnya mencari bantuan. Menggunakan infografis, video pendek, dan cerita interaktif dapat menarik perhatian remaja. Kisah nyata dari remaja yang berhasil mengatasi gangguan kesehatan mental mereka juga dapat memberikan harapan dan inspirasi bagi mereka yang sedang berjuang.
Influencer media sosial yang memiliki banyak pengikut di kalangan remaja bisa membantu menyebarkan pesan komunitas dan menarik lebih banyak partisipasi. Melibatkan tokoh masyarakat, selebriti, atau pakar kesehatan mental untuk berbagi pandangan mereka dan mendukung komunitas ini juga bisa meningkatkan efektivitasnya.
Selain itu, dengan kehadiran Gen Z di dalam komunitas, mereka dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan konten yang lebih menarik dan kreatif serta desain grafis yang inovatif. Gen Z juga dapat memanfaatkan keahlian teknologi mereka untuk mengembangkan platform interaktif yang memfasilitasi forum diskusi atau grup dukungan di media sosial. Melalui platform ini, remaja dapat berbagi pengalaman secara anonim dan mendapatkan dukungan emosional dari sesama teman sebaya dalam mengatasi masalah kesehatan mental.
2. Edukasi tentang Mental Health
Edukasi tentang kesehatan mental kepada masyarakat sangat diperlukan. Dalam jurnal “Mental Health Stigma: Society, Individuals, and the Profession” oleh Ahmedani (2011), disebutkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya kesehatan mental masih sangat rendah. Gangguan mental sering dianggap sebagai hal yang memalukan atau tabu dalam keluarga, menyebabkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sering mengalami stigma, seperti pelabelan, stereotip, pengucilan, dan diskriminasi. Stigma ini menghalangi proses pemulihan dan kesejahteraan hidup mereka. Stigma adalah bentuk prasangka yang merendahkan atau menolak seseorang atau kelompok karena dianggap berbeda dari mayoritas.
Maka dari itu, peran Gen Z, ahli psikologi, dan pemerintah sangat penting untuk bersinergi dan menciptakan kampanye yang efektif dalam memberikan edukasi tentang kesehatan mental. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan seminar-seminar yang terbuka untuk umum, baik di sekolah, universitas, maupun komunitas lokal. Seminar ini dapat menyajikan informasi dasar tentang kesehatan mental, tanda-tanda gangguan mental, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk mendapatkan bantuan profesional. Selain itu, seminar dapat menghadirkan pakar kesehatan mental, penyintas gangguan mental, dan influencer untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka, sehingga audiens dapat memahami topik ini dengan lebih baik.
Selain seminar, program bantuan konseling juga harus diprioritaskan. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah bisa bekerja sama untuk menyediakan layanan konseling gratis atau berbiaya rendah, baik secara langsung maupun melalui platform online. Gen Z, yang sangat akrab dengan teknologi, dapat memanfaatkan aplikasi dan situs web untuk mengakses layanan konseling ini. Program pelatihan untuk sukarelawan dari kalangan Gen Z juga bisa diadakan, sehingga mereka dapat menjadi pendukung sebaya yang membantu teman-teman mereka yang mungkin mengalami masalah kesehatan mental.
Dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang gangguan mental, sering kali gangguan ini dihubungkan dengan kepercayaan atau mitos tertentu. Hal ini mengakibatkan orang yang seharusnya membutuhkan bantuan ahli psikologi malah terhambat oleh pandangan masyarakat yang keliru. Oleh karena itu, kampanye ini juga harus fokus pada menghilangkan stigma dan mitos yang salah tentang kesehatan mental. Kampanye melalui media sosial, iklan layanan masyarakat, dan kerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat setempat bisa menjadi strategi efektif untuk mengubah pandangan dan meningkatkan pemahaman tentang kesehatan mental.
Kampanye ini harus berusaha menjangkau semua lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga orang dewasa, dan memberikan pemahaman bahwa gangguan mental adalah kondisi medis yang memerlukan perhatian dan penanganan yang tepat, bukan stigma atau diskriminasi. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan lebih terbuka untuk mencari bantuan profesional ketika menghadapi masalah kesehatan mental, dan stigma yang melekat pada gangguan mental akan berkurang. Sinergi antara Gen Z, ahli psikologi, dan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang kesehatan mental merupakan langkah krusial dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan memahami kebutuhan individu dengan gangguan mental.
Beberapa komunitas di Indonesia telah fokus pada edukasi tentang kesehatan mental dan penghapusan stigma. Berikut beberapa di antaranya:
1. Indonesia Youth Mental Health Community (IYMHC)
Didirikan pada tahun 2016 dan berbasis di Jakarta, IYMHC berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang kesehatan mental di kalangan pemuda Indonesia.
2. Into The Light Indonesia
Dibentuk pada Mei 2013, komunitas ini fokus pada penghapusan stigma di masyarakat terhadap bunuh diri dan orang-orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Dengan moto “Hapus Stigma, Peduli Sesama, Sayangi Jiwa,” Into The Light Indonesia tidak menyediakan layanan konseling, tetapi meluncurkan berbagai program seperti diskusi publik, pelatihan, kampanye, dan penerbitan hasil penelitian. Tujuannya adalah mengurangi stigma bunuh diri dan meningkatkan kesadaran untuk mencari bantuan bagi orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
3. Indonesia Mental Health Care Foundation
Organisasi ini didirikan oleh dr. Rama Giovani, SpKJ, Ade Binarko, dr. Noki Irawan Saputra, SpKJ, dan dr. Anindita. Mereka sepakat membentuk komunitas yang bertujuan untuk melayani, membantu, dan mengedukasi masyarakat dalam menangani masalah psikologis, termasuk pasien dengan gangguan kesehatan mental ringan hingga berat.
Komunitas-komunitas ini berperan penting dalam menyebarkan informasi dan mengurangi stigma terkait kesehatan mental di Indonesia.
Penyunting: Francois Rynasher Mamarimbing