Banyak riset menunjukkan bahwa Gen Z memiliki kesehatan mental yang lebih rendah dari generasi-generasi sebelumnya. Melansir axios.com (2024) melaporkan bahwa Gen Z – yaitu orang-orang yang berusia antara 12-27 tahun memiliki kesehatan mental paling buruk dibandingkan generasi mana pun, menurut laporan Gallup dan Walton Family Foundation baru-baru ini, menunjukkan hanya 44% Gen Z yang mengatakan bahwa mereka merasa siap menghadapi masa depan.
Tiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangan, begitupula dengan generasi Z. Salah satunya mereka terbuka terhadap hal apapun, namun keseharian cenderung individualis dan egosentris, cenderung lebih toleran namun juga memiliki emosi yang labil, dan banyak hal paradoks lainnya. Hakikatnya kalau dicermati, gen Z tercipta bukan karena dirinya sendiri, melainkan penemuan-penemuan di bidang teknologi informasi yang diciptakan generasi sebelumnya, yang memaksa mereka untuk menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Bahkan saat ini muncul di kalangan gen Z istilah FOMO (Fear of missing out) yang artinya takut ketinggalan informasi atau berita. Konsekuensinya, gen Z harus selalu update dengan hal-hal baru setiap harinya.
Perlu dipahami bahwa dunia gen Z lebih lebar dari yang pernah kita bayangkan, bahkan di masa kehidupan dewasa mereka, saya yakin, mereka akan lebih memilih untuk keluar dari zona nyaman, anti kemapanan, dan menyukai tantangan, dengan kata lain, gen Z identik dengan sifat bosenan, apalagi menjalani rutinitas 8-5 (pekerjaan kantor), sudah pasti tidak akan cocok. Jika mereka lulus di fase ini, akan muncul sebagian gen Z yang dapat menjadi agen kesehatan mental sebagian gen Z lainnya yang masih berjuang untuk keluar dari zona tidak mengupgrade diri mereka.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN, 2022) mencatat sebanyak 1.921 peserta seleksi Calon Aparatur Sipil negara (CASN), termasuk calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 2022 mengundurkan diri, sejumlah alasan diketahui antara lain ketidaksesuaian pekerjaan dan penghasilan dengan ekspektasi pelamar dan lokasi penempatan juga menjadi alasan pengunduran diri. Sepertinya hanya tinggal menunggu waktu, gen Z akan mengubah pendekatan pekerjaan menjadi lebih efisien dan membutuhkan waktu kerja yang lebih ringkas daripada yang dilakukan ASN pada umumnya sampai saat ini.
Tiap orang ada masanya, tiap masa ada orangnya, kita harus meyakini bahwa gen Z bukan superman yang selalu benar dan tidak pernah salah, ada saatnya sedih dan butuh disapa, ada saatnya marah dan butuh cinta, ada saatnya “hilang” dan butuh healing, ada saatnya diam dan butuh me time.
Beberapa dari mereka yang sudah muak dengan keadaan permanen, terlalu lama hidup soliter, hanya peduli screen di gawai masing-masing, dan lupa kehidupan sekitar, menyadari bahwa mereka akan kehilangan waktu remaja dan muda mereka di depan layar, kecanduan berlebihan terhadap media sosial dan internet serta tidak berhenti bermain dengan monster digital telah menjadi nurani kemanusiaan mereka tidak lebih dari kehidupan palsu di alam maya. Lihat saja semuanya serba copas dan cukup mengklik emoji atau gif, dari ucapan ulang tahun sampai ucapan duka cita, tidak lagi dihayati dengan penuh perasaan.
Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya bahwa akan ada gen Z yang punya cara menghadapi isu-isu kesehatan mental terlepas dari nilai-nilai hidup mereka yang paradoks. Mungkin, butuh waktu bagi gen Z untuk bercengkrama dengan hal-hal di luar dari kecenderungan mereka dan beradaptasi dengan nilai-nilai adiluhung dari generasi sebelumnya, misalkan seperti kemandirian pada gen x dan sifat solidaritas pada gen y (milenial). Dengan demikian, gen Z bukan superman yang serba bisa, gen Z butuh dukungan dari sesama dan gen-gen sebelumnya untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan kehidupan yang lebih dashyat dari sebelumnya.
Penyunting: Sarah