Diterbitkan 30 Jun 2024

Menghancurkan Stigma: Membangkitkan Generasi Z sebagai Pelopor Kesehatan Mental

Tulisan ini akan mengupas tentang memanfaatkan kekuatan Gen Z untuk melawan stigma kesehatan mental.

Pengembangan Diri

Syanne Helly

Kunjungi Profile
515x
Bagikan

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap komposisi penduduk Indonesia berdasarkan kelompok umur, memberikan gambaran tentang dominasi Generasi Z di Indonesia. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, menjadi kelompok terbesar dengan jumlah mencapai 74,93 juta jiwa, setara dengan 27,94% populasi. Milenial, generasi yang lahir antara tahun 1981 dan 1996, menempati posisi kedua dengan jumlah 69,38 juta jiwa atau 25,87% populasi. Generasi X, lahir antara tahun 1965 dan 1980, memiliki jumlah 58,65 juta jiwa. Baby Boomer, generasi yang lahir antara tahun 1946 dan 1964, memiliki jumlah 31,01 juta jiwa. Sementara, kelompok Post Generasi Z dan Pre-Boomer masing-masing memiliki jumlah 29,17 juta jiwa dan 5,03 juta jiwa.

Sumber: https://data.goodstats.id/statistic/sensus-bps-saat-ini-indonesia-didominasi-oleh-gen-z-n9kqv 

Kabar yang mengkhawatirkan datang dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan hingga 200% dalam kasus gangguan kesehatan mental pada Gen Z, kelompok usia yang mendominasi struktur penduduk Indonesia saat ini. Tulisan ini akan mengupas tentang Generasi Z. Fokus utama adalah pada tantangan kesehatan mental yang dihadapi oleh generasi muda ini.

Karakteristik Generasi Z

Generasi Z yang tumbuh di tengah kemajuan digital telah mengalami interaksi dengan teknologi sejak kecil. Kondisi ini memudahkan mereka untuk mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan diri dengan inovasi teknologi. Mereka menikmati berbagai keuntungan seperti kemampuan untuk bekerja dengan cepat dan efisien, memiliki sikap inklusif, serta keahlian dalam bidang teknologi. Akan tetapi, terlalu banyak bergantung pada teknologi bisa berakibat buruk, misalnya menurunnya daya konsentrasi dan minimnya interaksi sosial secara langsung (Media Indonesia).

Dr. Sandersan Onie, pakar kesehatan mental dari Emotional Health For All (EHFA), menyebut generasi ini sebagai "generasi stroberi", yang terlihat menarik di luar namun rapuh di dalamnya. Hal ini didasarkan pada penelitian EHFA di tahun 2022 yang menunjukkan bahwa Gen Z memiliki risiko depresi yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Dr. Sandersan menjelaskan bahwa kemudahan akses dan luasnya jangkauan media sosial justru menghadirkan tantangan baru bagi Gen Z. Generasi ini, menurutnya, lebih mudah terjebak dalam perbandingan diri dengan orang lain dari berbagai penjuru dunia. Hal ini dapat memicu perasaan tidak puas, rendah diri, dan pada akhirnya, depresi (Suara.com).

Senada dengan hasil penelitian EFHA, dr. Lahargo Kembaren SpKJ, dalam praktek klinisnya, mengamati bahwa gangguan kecemasan, depresi, dan bunuh diri adalah masalah kesehatan mental yang paling sering ditemui pada Gen Z. Menurut beliau, kapasitas mental yang menjadi faktor utama dari meningkatnya kasus ini dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya: genetik, pola asuh orang tua, pendidikan, regulasi emosi, ketrampilan sosla, dan kemampuan sosial, dan kemampuan hidup. Selain faktor-faktor di atas, dr. Lahargo Kembaren juga menjelaskan bahwa stresor psikososial, atau hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mentalnya, juga berperan penting (detik.com).

Di tengah maraknya kasus kecemasan, depresi, dan bunuh diri pada Gen Z, pertanyaan ini menjadi kian relevan: bagaimana cara membangkitkan generasi muda ini untuk menjadi agen perubahan dalam mengatasi stigma kesehatan mental?

Memanfaatkan Kekuatan dari Generasi Z

Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif, inovatif, dan terhubung secara digital. Kekuatan inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan, antara lain:
1. Kampanye Kreatif: Gen Z dapat membuat konten kreatif di media sosial untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, serta menentang stereotip dan diskriminasi terhadap individu dengan kondisi kesehatan mental.
2. Organisasi dan Komunitas: Mendirikan atau bergabung dengan komunitas dan organisasi yang fokus pada kesehatan mental dapat menjadi wadah bagi Gen Z untuk saling mendukung dan berbagi pengalaman.
3. Teknologi dan Inovasi: Pemanfaatan teknologi untuk mengembangkan aplikasi, platform, dan website yang menyediakan informasi dan layanan kesehatan mental yang mudah diakses.

Upaya membangkitkan Gen Z sebagai agen perubahan untuk melawan stigma kesehatan mental membutuhkan dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk sekolah, orang tua, dan masyarakat. Di sinilah peran penting Generasi X dan Milenial perlu dipertimbangkan. Sebelum mendorong Gen Z untuk menjadi penggerak perubahan, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: “Siapkah Generasi X dan Milenial untuk turut bertransformasi?”


Penyunting: Sarah

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Artikel Terkait

Suara Generasi Z: Memecah Tabu, Membangun Kesadaran tentang Kesehatan Mental
REVITALISASI KESEHATAN MENTAL: GENERASI Z SEBAGAI AGENTS OF CHANGE
Social Comparison Berlebih di Sosial Media Berdampak pada Kualitas Hidup?
4 min
Optimize Gen Z Power! #LoveYourself to Overcome Mental Problems
2 min
MAHASISWA, GANGGUAN MENTAL, DAN MEDIA SOSIAL: SEBUAH DILEMATIKA GEN Z ANTARA MENJADI “PENGENDALI” ATAU “DIKENDALIKAN”
5 min
Jangan Sampai Menjadi Salah Satunya! Ini Solusi Atasi Gen Z Menganggur
3 min