Diterbitkan 14 Mei 2024

MAHASISWA, GANGGUAN MENTAL, DAN MEDIA SOSIAL: SEBUAH DILEMATIKA GEN Z ANTARA MENJADI “PENGENDALI” ATAU “DIKENDALIKAN”

“Apakah media sosial yang secara terus menerus mengendalikan diri kita?” Atau sebaliknya, “Apakah seharusnya manusia yang mampu mengendalikan media sosial?" Sebuah pertanyaan bagi Gen Z terkhususnya mahasiswa yang sangat erat kesehariannya dengan media sosial.

Pengembangan Diri

Andrean Nathaniel

Kunjungi Profile
118x
Bagikan

Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia!

Laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 menyatakan bahwa 970 juta orang di seluruh dunia hidup dengan gangguan mental terkhususnya depresi dan kecemasan. Lebih lanjut, WHO menyatakan bahwa gangguan jiwa menyumbang satu dari enam tahun hidup dengan disabilitas. Seseorang dengan kondisi mental yang parah diprediksi dapat meninggal 10 hingga 20 tahun lebih awal dibandingkan masyarakat umum. Hal tersebut dikarenakan keberadaan gangguan mental dapat meningkatkan resiko bunuh diri. Jika dikupas lebih dalam dari segi definisi, gangguan mental merupakan penyimpangan atas mental health dalam diri seseorang. Gangguan mental merupakan hambatan seseorang dalam berpikir, merasakan, dan bertindak. Melalui hambatan tersebut, seringkali timbul gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan berlebih, bipolar, dan disorder (World Health Organization, 2019).

Jika ditelusuri lebih lanjut, gangguan mental paling rentan dialami oleh Generasi Z atau Gen Z. Menurut Herman dan Gioia (2000), Gen Z merupakan generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga tahun 2012 dengan karakteristik menyukai kebebasan, multitasking, dan melek teknologi. Penelitian dari University College London menunjukkan bahwa tingkat gangguan mental terkhususnya depresi pada Gen Z dua pertiga lebih tinggi daripada generasi millenial. Sejalan dengan hal tersebut, McKinsey Health Institute menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi gangguan mental pada gen Z tepatnya pada mahasiswa adalah media sosial. Dalam penelitiannya, McKinsey Institute juga menyatakan bahwa mayoritas mahasiswa sebagai bagian dari Gen Z menghabiskan lebih dari dua jam sehari untuk sosial media, sehingga mereka cenderung memiliki kondisi kesehatan mental yang buruk. Sejumlah dampak buruk dari penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental adalah rasa takut tertinggal tren baru atau Fear of Missing Out (FoMO), khawatir terhadap citra tubuh, serta rendahnya kepercayaan diri seseorang (Salsabilla, 2023). 

Apabila mengacu pada dua karakteristik Gen Z yang disebutkan oleh Herman dan Gioia (2000) yaitu “menyukai kebebasan” dan “melek teknologi”, tentu dua hal tersebut saling memiliki kesinambungan dan juga memberikan sebuah pertanyaan. Jika, Gen Z memang memiliki karakteristik yang menyukai kebebasan mengapa mereka begitu mudah dikendalikan oleh teknologi terkhususnya sosial media? Lantas, hal tersebut akan menimbulkan pertanyaan “Apakah Gen Z yang mengendalikan sosial media?” Atau, “Sosial media yang mengendalikan Gen Z?” Dua pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan kemampuan memposisikan diri sebagai pengguna teknologi. Mahasiswa sebagai bagian dari Gen Z dan agent of change memang dituntut untuk adaptif terhadap perkembangan teknologi, hal tersebut juga yang menimbulkan keseharian mahasiswa tidak dapat lepas dari teknologi termasuk media sosial. Namun, sebenarnya mahasiswa selaku agent of change harus mampu menjadi pelopor dalam menggunakan media sosial secara baik dan benar. Salah satunya, dengan mengubah stigma terhadap “dikendalikan” menjadi “mengendalikan” saat menggunakan media sosial. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui sejumlah peran sebagai berikut:

  • Menggunakan Media Sosial dengan Kejujuran dan Kesadaran

Diri sendiri merupakan faktor terkuat yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah aktivitas. Keteguhan diri sendiri menjadi kunci agar kita selaku mahasiswa dan Gen Z dapat terhindar dari dampak buruk seperti gangguan mental saat mengakses media sosial. Membangun keteguhan diri sendiri, dapat dimulai dengan sikap jujur saat mengakses media sosial. Apabila kita mengakses media sosial sebagai hal pertama yang dilakukan setelah bangun tidur di pagi hari, tanyakan pada diri sendiri, apakah itu karena kita ingin mengetahui berita terkini atau hanya kebiasaan sebagai pelarian diri dalam menghadapi hari baru? Apakah mengakses media sosial di pagi hari lebih penting dibandingkan berolahraga ataupun sarapan? Jawablah pertanyaan dengan jujur kepada diri sendiri. Putuskan apakah hal tersebut memang benar-benar harus dilakukan atau hanya sebuah pelarian. 

Bersikap Jujur Terhadap Diri Sendiri (Foto: Canva)

  • Melakukan Detoksfikasi Informasi yang Dianggap Berlebihan

Tingginya aktivitas yang berhubungan dengan media sosial dalam diri mahasiswa dan Gen Z dapat berpotensi meningkatkan penerimaan informasi dari berbagai sumber. Melalui hal tersebut, mahasiswa dan Gen Z perlu bersikap lebih cermat dalam menerima informasi di berbagai platform media sosial, salah satunya dengan melakukan detoksifikasi informasi sesuai dengan kebutuhan. Mahasiswa dan Gen Z dapat melakukan detoksifikasi informasi sosial media secara bertahap. Memang pada tahap awal akan sulit untuk dilakukan, namun kita perlu melakukannya dengan meminta dukungan orang-orang terdekat seperti keluarga dan sahabat dengan bersikap terbuka jika kita sedang melakukan ‘detoksifikasi’ media sosial. Selain dukungan orang-orang terdekat, dalam melakukan detoksifikasi media sosial diperlukan sikap keberanian dari setiap individu seperti berhenti mengikuti (unfollow), membisukan notifikasi (mute), dan menyembunyikan profil diri (hide).

Berani Menolak Hal Buruk untuk Kebaikan Diri Sendiri (Foto: Canva)

  • Memperhatikan Perasaan Diri Sendiri Saat Mengakses Media Sosial

Saat kita mengakses media sosial dalam kurun waktu yang lebih singkat dibanding biasanya, coba rasakan apakah hal tersebut membuat diri kita menjadi lebih baik? Bandingkan, dengan penggunaan media sosial dengan durasi waktu sebelumnya. Ketika ada perasaan dari diri sendiri, seperti merasa lebih tenang, pekerjaan menjadi lebih cepat selesai, dan menjadi lebih fokus maka perubahan tersebut dapat terus dilanjutkan sebagai upaya memberikan kenyamanan diri sendiri saat mengakses media sosial. Tentukan, seberapa lama durasi yang optimal bagi kebutuhan diri sendiri dalam mengakses media sosial. 

Peduli Terhadap Apa yang Dirasakan oleh Diri Sendiri (Foto: Canva)

  • Tekankan Bahwa Media Sosial  Hanya “Dunia Maya” Bukan “Dunia Nyata”

Memang menggunakan media sosial untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang terdekat adalah sebuah kebutuhan diri. Namun, jangan sampai hal tersebut menggantikan interaksi dan komunikasi langsung dengan mereka. Tekankan, bahwa hanya orang yang berhadapan dengan diri kita yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk saling terhubung satu sama lain. Selain itu, cukup lakukan komunikasi dengan orang yang benar-benar kita kenali dan kita perlukan di media sosial. Saat berkomunikasi dengan orang yang tidak kita kenali sebelumnya, kita tidak pernah mengetahui perilaku dan kebiasaan orang tersebut. Tentu, kita juga tidak mengetahui apakah saat berkomunikasi, lawan bicara kita di media sosial memiliki niatan atau tujuan tertentu yang dapat membahayakan diri kita. 

Media Sosial Bukanlah Realita Kehidupan (Foto: Canva)

Teknologi terkhususnya media sosial memang sebuah wadah yang diciptakan untuk melengkapi kebutuhan mahasiswa dan Gen Z di era digitalisasi saat ini. Namun, media sosial yang dianggap sebuah wadah untuk memenuhi kebutuhan komunikasi di era digital tidak seterusnya mampu memberikan dampak positif bagi kehidupan. Saat kita menggunakan media sosial tersebut secara berlebihan, serta tanpa tujuan yang jelas, bisa saja media sosial akan memberikan sebuah bumerang berupa gangguan mental yang membahayakan mahasiswa dan Gen Z. Tentu, peran dan tekat kuat dari diri sendiri menjadi kunci untuk melindungi diri agar terhindar gangguan mental sebagai dampak buruk atas kelalaian dalam menggunakan media sosial. Kejujuran dan keberanian juga diperlukan oleh mahasiswa dan Gen Z untuk membentengi diri dari bumerang media sosial. Tak ada yang tak mungkin selagi tekat kuat hadir dari setiap individu, semuanya tentu kembali kepada diri kita sendiri saat mengakses media sosial “Apakah media sosial yang secara terus menerus mengendalikan diri kita?” Atau sebaliknya, “Apakah seharusnya manusia yang mampu mengendalikan media sosial saat menggunakannya?” 

Referensi

Herman, R. E., & Gioia, J. L. (2000). How to Become an Employer of Choice. Oakhill Press.

Salsabilla, R. (2023). Alasan Utama Gen Z Rentan Kena Masalah Mental Menurut Studi. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20230814104458-33-462679/alasan-utama-gen-z-rentan-kena-masalah-mental-menurut-studi 

World Health Organization. (2019). Mental health. https://www.who.int/health-topics/mental-health 

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Artikel Terkait

Peran Gen Z dalam Meningkatkan Kesadaran Mental Health di Media Sosial
Ikuti Organisasi Ekstra Kampus Ini dan Dapatkan Nilai Plus di CV Kamu!
Kualitas Gen Z Akan Menentukan Keberhasilan Visi Indonesia Emas 2045
Peran Aktif Gen Z Wujudkan Mental Health Melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Tema “Bangunlah Jiwa dan Raganya”
Sering Jadi Tempat Curhat? Ternyata Mendengarkan Ada Seninya Lho!
Pahlawan Tanpa Jubah Dalam Transformasi Kesehatan Mental