Diterbitkan 30 Jun 2024

Generasi Z dan Upaya Fasilitator Sebaya guna Mewujudkan Kualitas Mental yang Berdikari

Mengupayakan teknik fasilitator sebaya sebagai solusi Generasi Z mencegah masalah kesehatan mental

Kelas Kampus Inovatif

Hana Rusmalia

Kunjungi Profile
79x
Bagikan

Generasi Z dan Upaya Fasilitator Sebaya guna Mewujudkan Kualitas Mental yang Berdikari

Berbicara tentang Generasi Z, maka kita akan berbicara tentang hari ini. Ihwal karakterisasi terhadap mayoritas pemuda saat ini selalu mengacu kepada stigma-stigma yang selama ini diterima mereka, diantaranya Generasi Z adalah generasi yang gampang sekali mengalami mental breakdown, moody, dan stres. Mengapa tidak? sejak Generasi Z dilahirkan, jutaan informasi dari segala lini kerap kali muncul tanpa terpilah dengan bijak. Sehingga banyak diantara mereka menyerap informasi yang tidak sesuai dengan latar belakang, usia, maupun pendidikannya. Tak ayal, konsekuensi logisnya adalah stres yang berkelanjutan sehingga menjadi manusia yang rendah diri. Di sisi lain, Generasi Z tumbuh menjadi manusia yang cenderung arogan dalam mencerap informasi baru yang dinilai berlawanan dengan informasi yang lebih dulu didengar. 

Keterbukaan Generasi Z tentang isu kesehatan mental bukan lagi dipandang sebagai sebuah kesadaran, melainkan menjelma karakter generasinya sendiri[1]. Responnya pun beragam, masyarakat merespons isu ini dengan pandangan bahwa Generasi Z dianggap kurang bersyukur dan perlu meningkatkan spiritualitasnya. Pandangan-pandangan tersebut akhirnya membuat mereka semakin merasa terpojokkan. Untungnya beberapa Generasi Z dengan kreatif mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan mental tersebut. Namun kampanye-kampanye tersebut rentan sekali dimanfaatkan oleh beberapa kepentingan mengingat dalam pendidikan tidak ada satu pun yang benar-benar netral.[2]

Namun, bertolak dari stigma-stigma itulah kemudian kita dapat melihat fakta bahwasanya tidak semua Generasi Z dapat dinilai seragam. Generasi Z tidak selamanya didefinisikan sebagai generasi yang gampang terbuka tentang apa yang dirasakannya. Contohnya yang paling sederhana adalah sebagian dari mereka menutup diri dari media sosial dengan cara menghapus foto profil akun sosial media bahkan menghapus jejak digital di linimasa. Hal ini bertujuan agar sisi kehidupannya tidak banyak diakses oleh banyak penghuni media sosial dan bisa berkembang tanpa terpengaruh pencapaian orang lain yang telah menemukan kesuksesannya terlebih dulu. Meskipun tidak semua Generasi Z memiliki maksud serupa. Jalan keluarnya, tak cukup kita hanya memberikan motivasi-motivasi karena Generasi Z justru adalah generasi yang telah banyak  menerima aneka macam informasi.

Lalu bagaimanakah nasib Generasi Z di masa depan? Setiap manusia memiliki hak untuk terus berkembang dan mengaktualisasikan dirinya. Mengingat bahwa karakter setiap orang tidak sama, maka cara menghadapinya pun haruslah beraneka. Untuk menunjang perkembangan pada diri setiap Gen Z, orang di sekitarnya maupun mereka sendiri hendaknya menyadari bahwa satu sama lain harus saling mendukung dan menjadi fasilitator. 

Fasilitator adalah individu yang membantu sekelompok orang bekerjasama menuju tujuan yang sama.  Seorang berjiwa fasilitator akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sesama untuk berkomunikasi dan mengambil keputusan secara efektif. Jika masing-masing Generasi Z memiliki potensi untuk menjadi fasilitator maka akan memungkinkan mereka menjadi pribadi yang mudah mendengarkan dan didengarkan baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal. Dengan demikian maka setiap orang akan mudah terbuka dan berbagi ide. 

Terbukti dengan banyak penelitian yang menggunakan teknik fasilitasi di dalamnya dan telah menghasilkan pencapaian yang memuaskan di level nasional maupun sub-nasional mulai dari keorganisasian hingga bidang profesi. Salag satu contohnya bisa kita baca dalam skripsi mahasiswa Universitas Indonesia tentang “Peran Fasilitator dan Co-Fasilitator dalam Proram Sanitasi Total Berbasis Masyarakat[3]” dan proyek mahasiswa Universitas Gadjah Mada tentang “Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan di Kota Bau-Bau[4]”. Dalam kegiatan penelitian tersebut, fasilitator memiliki peran penting dan menjadi roda utama inovasi terlahir. Generasi Z bisa lebih banyak belajar dan bergabung dalam kegiatan-kegiatan fasilitasi dan melibatkan dirinya menjadi fasilitator.

Namun lebih dari itu, penting bagi Generasi Z untuk mempraktikkan teknik fasilitasi ini terhadap sebayanya dan orang-orang di sekelilingnya. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mendengarkan, bertanya, sadar diri, tempat dan waktu[5].Tujuannya adalah agar satu sama lain saling mendukung dan menerima dukungan tentang apa yang dicita-citakan. Dengan demikian serangan terhadap kesehatan mental dapat dicegah sejak mula.

*Ilustrasi: Brainstorming bersama Fasilitator sebaya dalam Sekolah Islam Gender Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Yogyakarta 


[1] Gen Z dan Media Sosial: Amplifikasi Kesadaran Kesehatan Mental. Megashift Fisipol UGM.

[2] Paulo Freire (1997)

[3] https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20289137&lokasi=lokal

[4] https://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/48423

[5] Training Of Trainers Rakata AktivAsia batch Kalimantan


Penyunting: Sarah

1

0

Komentar (1)

Azzuhro il Azzuhro

Jul 01, 2024

Sangat menginspirasi Semangat hana, terus berkembang ya 😃

Artikel Terkait

Sisi Positif Gen Z Dalam Berteknologi
2 min
Kontribusi Peran Gen Z dalam Membangun Resiliensi dan Kesejahteraan Subjektif

Bayu Rachmantyo

30 Juni 2024
4 min
Yuk, Ketahui Perbedaan Skripsi Kuantitatif dan Skripsi Kualitatif!

Pers Kampusinovatif

16 April 2024
3 min
Hidup sehat ala Gen Z: Menjaga kesehatan mental juga penting!
3 min
Referensi Judul Skripsi dan Panduan untuk Menyusunnya

Pers Kampusinovatif

08 Februari 2024
2 min
"DAILING" (Da'i Keliling) Media Gen Z sebagai Agents of Change for Mental Health

rucita aliya

01 Juli 2024
6 min