Gen-Z merupakan generasi yang disebut-sebut sebagai generasi yang paling mengikuti perkembangan justru menjadi generasi yang kondisi kesehatan mentalnya buruk. Berdasarkan hasil survei McKinsey Health Institute yang mengambil sampel sebanyak 41.960 orang di 26 negara, terdapat 18 persen responden yang dikategorikan sebagai Gen-Z yang merasa kesehatan mentalnya buruk, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan generasi milenial sebesar 13 persen, generasi x sebesar 11 persen dan baby boomers sebesar 8 persen.
Lantas, apakah generasi yang memiliki angka kesehatan mental terburuk menurut survey justru dapat merubah permasalahan kesehatan mental menjadi lebih baik kedepannya?.
Mengenal Gen-Z dan Kondisi Kesehatan Mentalnya Di Indonesia
Sebelum membahas lebih jauh terkait bagaimana cara Gen-Z bisa merubah masa depan kesehatan mental khususnya di Indonesia, mari berkenalan terlebih dahulu dengan Gen-Z. Gen-Z sendiri merupakan salah satu kategori dari teori generasi yang dikemukakan oleh Tapscott pada tahun 2009, pada teori tersebut terdapat 4 kategori yakni the baby boom, the baby bust, the millenial dan net generation. Net generation atau sering disebut dengan Gen-Z inilah yang merupakan kelompok generasi yang disebut sebagai generasi teknologi, mengapa demikian?, tak lain dan tak bukan karena Gen-Z merupakan generasi yang mengalami dan menyaksikan secara langsung perkembangan dari teknologi digital hingga saat ini.
Gen-Z memiliki karakteristik cenderung memiliki rasa kaingin tahuan yang sangat tinggi dan terkenal dengan tech savvy atau paham teknologi sehingga dapat menyelesaikan suatu permasalahan dengan memanfaatkan teknologi sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Selain itu, Gen-Z juga terbilang cukup multitasking dalam mengerjakan sesuatu dengan cepat dan dalam waktu yang bersamaan, seperti contohnya mengirim pesan sambil mengobrol.
Meskipun bisa dikatakan generasi yang dapat menjadi tumpuan bangsa untuk masa yang akan datang, Gen-Z di Indonesia mengalami permasalahan serius terhadap kondisi kesehatan mental. Data Riset Kesehatan Dasar yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 menunjukkan kenaikan persentase penduduk usia dibawah 15 tahun yang mengalami gangguan mental emosional sebesar 9,8 persen sebesar 20 juta penduduk dari tahun sebelumnya kenaikan hanya sebesar 6,1 persen dengan jumlah sekitar 12 juta penduduk.
(Statistik Survei Berdasarkan Kelompok Umur, Sumber : Laporan Penelitian I-NAMHS Tahun 2022)
Survei lainnya pun mengungkapkan detailnya, survei I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) yang dilakukan tahun 2022 menemukan bahwa sebanyak 5,5 persen remaja berusia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, setara dengan 1 dari 20 remaja. Kemudian, sebanyak 34,9 persen remaja berusia dalam kategori usia yang sama memiliki setidaknya satu kesalahan mental yang dikategorikan sebagai orang dalam masalah kejiwaan (ODMK). Survei tersebut juga menemukan persentase gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja adalah gangguan cemas yang berada di angka 26,7 persen, kemudian diikuti oleh permasalahan pemusatan perhatian dan atau hiperaktivitas sebesar 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen dan stres pascatrauma 1,8 persen.
Peran Gen-Z Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental
Meskipun kondisinya dapat dikatakan memprihatinkan sebagai generasi dengan tingkat kesehatan mental terburuk, Gen-Z memiliki potensi yang besar untuk membawa perubahan positif terhadap kesehatan mental di Indonesia, berikut beberapa peran Gen-Z:
- Pemanfaatan Teknologi Yang Baik Untuk Dukungan dan Edukasi Kesehatan Mental
Seperti yang telah diketahui bersama, Gen-Z memiliki keterampilan dalam teknologi terkini sehingga hal ini dapat dimanfaatkan untuk generasi ini terutama dari golongan pelajar dan mahasiswa untuk dapat membuat konten edukasi ataupun platform dukungan kesehatan mental yang menarik dan mudah untuk diakses siapa saja.
2. Membuka Diri dan Mendobrak Stigma
Gen-Z dikenal cukup berani dan terbuka dalam mengekspresikan dirinya sendiri. Hal ini dapat menjadi kekuatan untuk dapat mendobrak stigma negatif terhadap kesehatan mental dan juga dapat mendorong orang lain untuk mencari bantuan.
3. Meningkatkan Kesadaran dan Advokasi
Gen-Z yang dekat dengan teknologi dan selalu berinteraksi dengannya dapat memanfaatkan media sosial dan platform online lainnya untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan mendorong pemangku kepentingan seperti pemerintah untuk dapat memerhatikan kebijakan yang dapat mendukung kesehatan mental menjadi lebih baik di Indonesia.
4. Membangun Komunitas Untuk Saling Mendukung
Dengan jumlahnya yang terus meningkat, Gen-Z dapat mempengaruhi pergerakan masyarakat, salah satunya adalah dengan cara berinteraksi dan membangun komunitas yang peduli terhadap kesehatan mental. Komunitas dapat dimanfaatkan untuk menyelenggarakan program kreatif seperti diskusi, meet-up dan kegiatan sosial lainnya yang bertujuan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan saling menguatkan antar sesama.
Tantangan Yang Dihadapi dan Solusinya
Dari peran-peran yang dapat dijalankan oleh Gen-Z tersebut terdapat tantangan-tantangan yang perlu dilewati seperti :
- Akses Terhadap Layanan Kesehatan Mental Yang Masih Terbatas
Jumlah fasilitas kesehatan mental di Indonesia masih sedikit, per tahun 2022 sendiri hanya ada sekitar 50 persen dari 10.321 unit puskesmas yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Tak hanya dari segi fasilitas saja, Indonesia juga masih kekurangan tenaga professional, mengutip dari publikasi penanganan kesehatan mental di Indonesia yang dirilis oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR RI), hanya ada 1.053 tenaga psikiater per oktober dan 2.917 tenaga psikolog klinis per oktober 2023. Hal ini terbilang memprihatinkan, karena jika dirasiokan maka 1 tenaga psikiater harus melayani 250.000 penduduk, dan 1 tenaga psikolog klinis harus melayani sekitar 90.000 penduduk.
2. Stigma Negatif dan Diskriminatif
Kesehatan mental di Indonesia masih cenderung dipandang dengan stigma negatif oleh masyarakat umum, hal ini mengakibatkan banyak Gen-Z atau masyarakat yang enggan mencari bantuan karena takut dikucilkan atau dihakimi.
3. Minimnya Informasi dan Edukasi
Informasi dan edukasi merupakan hal yang penting agar Gen-Z dan masyarakat sepenuhnya sadar akan pentingnya kesehatan mental serta bagaimana cara menjaganya. Kurangnya informasi dan edukasi ini membuat Gen-Z lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental.
4. Adanya Tekanan Sosial dan Tuntutan
Karena sering dianggap merupakan generasi yang akan menjadi penerus dan memajukan bangsa, sering kali Gen-Z dihadapkan dengan tekanan sosial dan mendapatkan tuntutan yang tinggi baik dari segi akademik, media sosial maupun lingkungan sekitar untuk terus menjadi yang terbaik. Dorongan ini jika dengan cara yang tepat maka dapat menjadi motivasi untuk Gen-Z untuk dapat terus berkembang, akan tetapi jika dilakukan dengan sebaliknya maka dapat menjadi boomerang dan berpotensi memicu stress, kecemasan dan depresi bagi Gen-Z.
Meskipun terdapat tantangan-tantangan yang tidak mudah, hal-hal tersebut dapat diatas dengan beberapa solusi sebagai berikut:
- Membangun Kerjasama Dengan Berbagai Pihak
Kerjasama yang baik dengan berbagai pihak merupakan hal yang penting agar dapat merubah kondisi kesehatan mental di Indonesia. Kolaborasi diperlukan dengan beragam pihak seperti pemerintah, organisasi masyarakat/organisasi non-profit, komunitas, pihak swasta dan individu untuk beragam peningkatan seperti akses layanan kesehatan mental, edukasi dan advokasi. Gen-Z pun dapat terlibat dalam berbagai kegiatan seperti menjadi relawan ataupun berupa ambassador kesehatan mental.
2. Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna
Gen-Z dapat memanfaatkan keahlian teknologi untuk dapat membangun solusi-solusi inovatif yang tepat guna. Inovasi dapat berupa platform edukasi dan dukungan kesehatan mental ataupun dapat berupa inovasi lainnya. Platform-platform yang dibangun dapat membantu masyarakat atau Gen-Z lainnya yang mengalami masalah kesehatan mental untuk mendapatkan informasi, dukungan dan sumber daya yang dibutuhkan dengan kemudahan akses melalui teknologi.
3. Membuka Diri dan Mendobrak Stigma Negatif
Gen-Z dengan jumlahnya yang saat ini jumlahnya sangat banyak di Indonesia terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa, dapat membawa dampak dengan membuka diri dan berani berbicara tentang kesehatan mental untuk mendobrak stigma negatif yang berkembang di masyarakat. Selain itu Gen-Z dapat memanfaatkan media sosial dan platform online lainnya untuk meningkatkan kesadaran kesehatan mental, hal ini dapat dilakukan secara luring maupun daring, serta berkolaborasi dengan organisasi dan komunitas terkait yang bergerak di bidang kesehatan mental.
Kesimpulan
Gen-Z, yang terkenal sebagai generasi teknologi, menghadapi tantangan serius terkait kesehatan mental, seperti yang diungkapkan dalam berbagai survei. Meskipun demikian, potensi besar dimiliki oleh generasi ini untuk mengubah arah dan memperbaiki masa depan kesehatan mental, terutama di Indonesia. Dengan keterampilan teknologi yang unggul, keterbukaan dalam berbicara tentang masalah kesehatan mental, kemampuan untuk meningkatkan kesadaran dan advokasi melalui media sosial, serta kemampuan untuk membangun komunitas yang peduli, Gen-Z dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kesehatan mental.
Namun, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi, termasuk akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental, stigma negatif, minimnya informasi dan edukasi, serta tekanan sosial dan tuntutan yang tinggi. Untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, kerjasama antara berbagai pihak, pemanfaatan teknologi secara tepat, dan pembukaan diri untuk mendobrak stigma negatif menjadi kunci.
Melalui upaya kolaboratif, inovasi teknologi, dan perubahan perilaku yang positif, Gen-Z dapat menjadi kekuatan utama dalam membawa perubahan yang signifikan dalam meningkatkan kesehatan mental di Indonesia.
#Kampusinovatif #LombaArtikel #ArtikelKI #LombaKI