Akhir-akhir ini, isu terkait masalah kesehatan mental makin sering terdengar. Penderitanya kebanyakan adalah mereka yang masih di usia-usia produktif. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, terdapat lebih dari 19 juta penduduk Indonesia usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional.
Masalah kesehatan mental ditemukan tidak hanya pada usia produktif, melainkan juga pada usia remaja. Sebuah media menyebut 19 persen remaja Indonesia mengalami depresi hingga membuat mereka memiliki keinginan untuk bunuh diri (Warta Kesmas, 02, 2023).
Mahasiswa tingkat akhir merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan mental, seperti stres, depresi, dan frustrasi. Mereka biasanya cenderung mengalami banyak tekanan yang bisa datang dari berbagai sisi, baik keluarga, pertemanan, dan lingkungan perkuliahan. Sebuah hasil penelitian tahun 2021 menyebutkan bahwa 32,1%, 27,2%, 42% dan 48,1% mahasiswa mengalami kecemasan, depresi, stres, dan kualitas tidur yang buruk (Fauziyah, Areta, 2021).
Di samping mahasiswa yang umumnya berada pada rentang usia 18-26 tahun, ada pula kelompok usia yang juga memiliki resiko gangguan kesehatan mental, yaitu 12-17 tahun. Anak di usia yang tergolong fase remaja awal tersebut sangat rentan, karena umumnya mereka sedang mengalami perubahan fisik, kognitif, dan psikologis yang signifikan. Hasil survei oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja usia 10-17 tahun menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental.
Kedua kelompok usia di atas sering pula dijuluki Generasi Z atau Gen-Z. Istilah Gen-Z merujuk pada generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 dan saat ini merupakan kelompok generasi terbesar di Indonesia. Sebuah laporan Gen Z Indonesia Tahun 2024 menyebutkan bahwa jumlah Gen-Z di Indonesia sebesar 27,94% dari total penduduk atau 74,93 juta jiwa. Jumlah tersebut bahkan lebih besar dibandingkan generasi milenial di Indonesia dengan jumlah sebesar 25,87% dari total populasi atau 69,38 juta jiwa.
Gen-Z sering diidentikkan dengan masa-masa penuh gejolak perubahan, di mana generasi tersebut berusaha memahami dunia di tengah ketidakpastian (uncertainty) dan kompleksitas yang semakin meningkat. Mereka adalah orang-orang yang terlahir dengan koneksi terhadap teknologi sedari kecil. Oleh karenanya lebih mudah menyaksikan tragedi, konflik, dan perubahan dunia melalui layer gadget yang mereka bawa ke manapun atau diselipkan di bawah selimut saat tidur di malam hari.
Di sisi lain, problem perilaku bullying masih masih menjadi ancaman serius. Para perundung kini dapat menyerang tanpa diketahui identitasnya. Hal ini bisa mengakibatkan stres dan kecemasan bagi anak muda. Umpan media sosial yang penuh sorotan yang menggambarkan kesuksesan dan kebahagiaan dari potret gemerlapnya kehidupan orang lain mengakibatkan meningkatnya perbandingan, kritik diri, dan persaingan. Hal ini juga meningkatkan rasa ketidakpuasan, kecemasan, dan keraguan dalam diri mereka (Jolene Erlacher, Katy White, 2022).
Adanya perasaan cemas, ragu, dan tidak puas terhadap diri sendiri menunjukkan ciri-ciri inferiority. Gejala ini biasanya membuat seseorang merasa cenderung minder, dan tidak yakin atas kemampuan dirinya. Seiring dengan perasaan minder dan tidak percaya diri membuat seseorang tersebut semakin insecure. Fenomena insecurity seperti ini banyak terjadi di kalangan remaja (Qatrunnada, 2022). Pemicunya banyak sekali, seperti tidak percaya diri dengan bentuk fisik yang dimiliki, warna kulit, tinggi badan, kecerdasan, dan sebagainya. Kompleksitas situasi inilah yang memberikan dampak negatif bagi Gen-Z, yakni berupa gangguan kesehatan mental.
Di luar itu, banyak dari masyarakat yang salah paham terhadap Gen-Z (Laporan Gen Z Indonesia, 2024). Gen-Z sering dianggap anak-anak manja dan cengeng. Terlepas dari tantangan yang mereka hadapi, Gen-Z juga dikenal anak muda yang memiliki semangat, pragmatis, kreatif, dan terampil. Mereka cenderung ingin memberikan kontribusi dengan cara-cara yang unik kepada dunia di sekitarnya. Jangan lupa juga bahwa Gen-Z punya karakter pembelajar. Oleh karenanya mereka sangat membutuhkan mentor yang terpercaya untuk mendampingi dalam mempersiapkan masa depannya. Mentor yang dibutuhkan adalah sosok yang sabar, bijaksana, menginspirasi, bercita-cita tinggi, serta memiliki kepedulian. Karena tugas tersebut membutuhkan pemahaman yang baik tentang konteks di mana Gen-Z hidup, serta kesiapan untuk mempelajari cara-cara baru dalam berkomunikasi.
Para guru dan orang tua memiliki tugas mendampingi anak muda Gen-Z sehingga mereka yakin bahwa dirinya memiliki peran yang sangat menentukan bagi masa depan. Mengingat Gen-Z diprediksi akan memberikan dampak penting pada proses sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat digital (Bresler dkk, 2022). Sebagai kelompok demografis terbesar di Indonesia, Generasi Z akan membentuk perekonomian, politik, dan budaya negara ini pada 10-20 tahun mendatang.
Lantas, bagaimana peran Gen-Z dalam mengawal ketahanan mental generasi muda?
Banyak orang tidak menyadari bahwa Gen-Z sesungguhnya adalah orang-orang yang sangat optimis. Mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk maju, serta memiliki kemampuan yang lengkap. Berbekal belajar dari kesalahan generasi sebelumnya, mereka memahami bahwa segala sesuatunya mungkin tidak akan selalu sempurna, namun mereka punya rencana untuk menghadapi badai. Mereka pribadi yang mandiri, mempunyai kesadaran, dan cepat berkembang. Dengan pemahaman akan dampak dari keputusannya, mereka akan membuat pilihan yang sesuai dan tetap berkontribusi untuk kebaikan yang lebih besar (Giselle Kovary, Robert Pearson, 2017).
Gen-Z bisa beperan penting dalam menyebarluaskan informasi tentang kesehatan mental kepada teman-teman seusianya dan masyarakat luas. Gen-Z memiliki jaringan pertemanan yang luas, baik secara online maupun offline. Hal ini memungkinkan mereka untuk menjangkau banyak orang dengan informasi tentang kesehatan mental. Bentuk penyebarluasan bisa berupa konten kreatif yang lebih cepat diterima oleh banyak kalangan. Mereka juga bisa menciptakan platform-platform yang digunakan sebagai pendorong untuk menggalakkan pembicaraan terbuka mengenai kesehatan mental. Dari situ mereka kemudian menggalang dukungan dan membangun komunitas untuk mempromosikan pemahaman dan menumbuhkan empati masyarakat agar peduli terhadap isu kesehatan mental.
Di samping itu, mereka berperan dalam mengedukasi seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi menekan resiko gangguan kesehatan mental yang bisa dialami siapapun. Masyarakat harus terus diberi pemahaman agar ikut membantu dan tidak justru menyalahkan. Tanamkan juga bahwa kesehatan mental tidak perlu dianggap sebagai aib yang memalukan.
Para Gen-Z juga bisa membentuk support system untuk mendukung secara moral dan emosional bagi teman-teman, anggota keluarga, atau siapapun yang menghadapi masalah serupa. Bagaimanapun, persahabatan dan hubungan antar teman sebaya sangat penting bagi kesehatan mental remaja. Sebuah studi menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat menjadi faktor penyembuh masalah kesehatan mental (mentalhealth.gov). Dengan menciptakan lingkungan yang lebih suportif, maka akan dapat menormalkan perilaku para pencari bantuan.
Banyak Gen-Z yang pernah berpengalaman dengan masalah kesehatan mental mulai berani mengungkapkan dirinya dan bercerita. Dari situ mereka sangat mungkin untuk berbicara tentang penanganan masalah mental secara lebih autentik dan relatable. Saat ini kita bisa melihat beberapa contoh tayangan podcast yang membicarakan pengalaman-pengalaman nyata Gen-Z dalam mengatasi problem mental yang pernah dirasakannya. Contohnya, Cerelia Raissa. Baru-baru ini artis FTV tersebut membagikan kisahnya yang pernah mengidap mental illness.
Gen-Z memiliki potensi yang sangat kuat untuk berada di garda terdepan dalam berbagai gerakan sosial penanganan masalah mental. Mereka dapat memanfaatkan kekuatan tersebut untuk mengadvokasi peningkatan sumber daya kesehatan mental serta menghilangkan stigma yang melekat terhadap penderita yang membutuhkan bantuan. Contohnya, yang dilakukan oleh Jed Foundation yang didirikan oleh Phil dan Donna Satow pada tahun 2000 setelah anak mereka meninggal karena bunuh diri. Di Indonesia, ada Into the Light Indonesia, sebuah komunitas yang fokus memberikan pendampingan dan edukasi untuk pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa.
Hal yang tak kalah penting juga yaitu peran Gen-Z dalam membantu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai perlindungan data pribadi dan etika berinternet. Sebuah riset menunjukkan tingkat kesadaran keamanan digital relatif rendah (Syafuddin, 2023). Padahal tanpa adanya perlindungan data pribadi, kejahatan seperti pelecehan seksual dan perundungan di dunia online dapat dengan mudah terjadi. Hal ini sangat berbahaya dan pada gilirannya dapat memicu peningkatan masalah gangguan mental di kalangan remaja.
Beragam peran tersebut dapat melibatkan Gen-Z sebagai penggerak utama. Dengan bimbingan yang tepat potensi Gen-Z dapat tercurahkan untuk budaya positif dan kebermanfaatan. Mari dukung Gen-Z untuk berpartisipasi dalam ketahanan mental. Karena kesehatan merupakan modal yang sangat penting guna mempersiapkan generasi penerus bangsa yang akan mengisi bonus demografi di tahun 2045. Tentu ini bukan hanya investasi untuk kesejahteraan Gen-Z saja, tetapi juga untuk mewujudkan kesehatan mental seluruh masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
Bresler, M. G., Suleymanov, A. R., Rabogoshvili, A. A., & Serdyuk, A. V. (2022). Facing the digital future: CIE potential of gen Z. Вестник УГНТУ. Наука, образование, экономика. Серия: Экономика, (2 (40)), 53-64.
Erlacher, J., & White, K. (2022). Mobilizing Gen Z: Challenges and Opportunities for the Global Age of Missions.
Fauziyah, N. F., & Aretha, K. N. (2021). Hubungan kecemasan, depresi dan stres dengan kualitas tidur mahasiswa Fakultas Kedokteran selama pandemi COVID-19. Herb-Medicine Journal: Terbitan Berkala Ilmiah Herbal, Kedokteran dan Kesehatan, 4(2), 42-50.
Kovary, G., & Pearson, M. (2017). Gen Z: a generation to look up to. Toronto: n-gen People Performance Inc.
Qatrunnada, J. I., Firdaus, S., Karnila, S. D., & Romli, U. (2022). Fenomena Insecurity di Kalangan Remaja dan Hubungannya dengan Pemahaman Aqidah Islam. IQ (Ilmu Al-qur'an): Jurnal Pendidikan Islam, 5(02), 139-152.
Syafuddin, K. (2023). Peningkatan literasi keamanan digital dan perlindungan data pribadi bagi siswa di SMPN 154 Jakarta. Eastasouth Journal of Impactive Community Services, 1(03), 122-133.
Wahdi, A. E., Setyawan, A., Putri, Y. A., Wilopo, S. A., Erskine, H. E., Wallis, K., ... & Ramaiya, A. (2022). Indonesia National Adolescent Mental Health Survey.
Laporan Gen Z Indonesia, 2024.
Warta Kesmas Edisi 2 Tahun 2023, 2023.
Penyunting: Sarah